INDONESIAUPDATE.ID – Pro dan kontra seputar impor beras hingga kini masih menjadi perbincangan publik. Mereka yang pro menilai langkah pemerintah tersebut tepat. Sebaliknya, sejumlah akademisi menyebut rencana tersebut mengindikasikan kurang cermatnya tata kelola komoditas pangan.
Wakil Ketua Komisi VI DPR, Gde Sumarjaya Linggih memaparkan bahwa masyarakat harus memahami bahwa kebutuhan beras nasional mencakup tiga segmen.
Pertama beras untuk Kesejahteran Rakyat (Kesra) yang biasanya digunakan oleh pemerintah untuk disalurkan kepada masyarakat kurang mampu atau yang lumrah disebut beras Bantuan Sosial (Bansos). Kedua, beras untuk cadangan beras nasional. Beras ini disediakan sebagai pasokan beras cadangan yang akan digunakan pada saat beras mengalami kelangkaan.
“Ketiga, beras komersil yang dijual di pasar untuk konsumsi publik,” ujar Gde melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (25/3).
Dia menjelaskan persoalan kebutuhan beras nasional ini bak masalah klasik. Saban tahun produksi dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat.
Oleh sebab itu impor beras sudah lumrah dilakukan setiap tahun. Waktu impor beras juga diatur sedemikian rupa. Ketika hasil panen dari petani kita sedang melimpah, belum perlu dilakukan impor dalam rangka melindungi kepentingan petani.
“Sebaliknya ketika beras langka belum dapat ditutupi oleh petani dalam negeri maka, mau tidak mau harus dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum, ” jelas Legislator asal Bali itu.
Gde menambahkan, satu-satunya institusi sebagai pelaksana untuk melakukan impor beras adalah Bulog. Tidak ada institusi lain.
“Sehingga agak janggal juga ketika pihak Bulog berusaha mendiskreditkan institusi lain dalam rencana impor beras baru-baru ini yang sedang hangat diperbincangkan,” beber Gde.
Terkait dengan perencanaan ketersedian beras untuk ke depan memang harus disiapkan sedini mungkin dalam menghadapi berbagai kondisi dan keadaan ke depan. Justru akan sangat fatal akibatnya apabila penerintah tidak menyiapakan perencanaan yang matang untuk mengjadapi berbagai kemunhkinan ke depan.
“Yang namanya perencanaan, yah belum tentu tepat seratus persen. Sama hanya misalkan kita menyiapkan rencana APBN, pelaksanaannya belum tentu sama persis dengan apa yang direncanakan,” tambahnya.
Dijelaskan Gde, jika diperrhatikan selama ini, ketidakberdayaan petani juga akibat ketidakmapuan Bulog dalam menyerap produksi gabah petani. Bolog kalah cepat dibandingkan dengan tengkulak.
“Pendekatan yang dilakukan oleh tengkulak lebih cepat, padahal seringkali dengan modal yang pas-pasan. Gabah petani baru dibayar setelah digiling menjadi beras,” jelas dia.
Selain itu, harga beli Bolog lebih rendah dari Tengkulak. Misalnya tengkulak membeli gabah kering petani dengan harga Rp 4.100 sementara Bulog hanya mampu membeli dengan harga Rp 3.700. Selain itu juga, Bulog tidak mampu menjual beras.
“Ini kita bisa buktikan dari adanya stok betas yang sudah tidak layak kondumsi di gudang-gudang Bulog. Ini sudah menjadi rahasia umum, beras Bulog itu identik dengan beras kelas tendah,” ungkap Gde.
Ada satu lagi yang menjadi sorotan publik yang dibicarakan akhir-akhir ini, yakni impor beras ini selalu dicuriagai ada permainan para pemburu rente. Sebagaimana disampaikan di awal, bahwa satu-satunya institusi yang melaksanakan impor beras adalah Bulog.
“Oleh sebab itu, ketika ada pemburu rente maka tentu tidak akan jauh dari lingkaran pelaksana impor beras. Ini tentunya akan menjadi atensi khusus DPR RI dalam melaksanakan pengawasan,” pungkasnya. (*)