INDONESIAUPDATE.ID – Ledakan pandemi bisa dikatakan sudah terkendali. Memasuki pertengahan September 2021, kasus baru yang ditemukan di Indonesia sudah berada di bawah 5.000 per hari, bahkan sempat menyusut ke bawah 2.000. Dari jumlah testing (pemeriksaan) lebih dari satu juta orang dalam satu minggu di pekan ketiga September, diperoleh angka positivity rate 2,58 persen.
‘’Itu angka terendah yang pernah dicapai sejak masa awal pandemi,’’ kata Profesor Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satgas Covid-19, dalam konferensi pers virtual dari Jakarta, Selasa (21/9/21). Seiring dengan turunnya angka kasus baru tersebut angka kesembuhan pun meningkat dan mencapai 95 persen. Kasus positif aktif, yakni jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit atau menjalani isolasi, pun menyusut ke angka 52.000 dari angka 550 ribu di pertengahan Juli lalu
Perkembangan itu, menurut Profesor Wiku, patut disyukuri dan disambut gembira, tapi jangan sampai membuat terlena. Pandemi belum selesai. Ia mengingat lonjakan kedua (second wave) Covid-19 di Indonesia Juni-Juli lalu lebih disebabkan oleh menurunnya kepatuhan masyarakat kepada protokol kesehatan masyarakat, ditambah pula karena meningkatnya mobilitas dan aktivitas sosial selama libur panjang lebaran 2021.
Kehadiran varian Delta sebagai varian of concern (VoC), dengan sifatnya yang sangat menular dan menimbulkan gejala klinis yang berat, tentu memberikan kontribusi besar atas parahnya pandemi. Namun, Profesor Wiku Adisasmito mewanti-wanti bahwa varian Delta yang terdeteksi telah masuk ke Indonesia per Januari 2021, tak serta-merta menimbulkan lonjakan. Perlu waktu lima bulan untuk menyebar luas.
Pada Januari 2021, seiring naiknya pandemi global, angka kasus di Indonesia juga melonjak, dan mencapai puncaknya di gelombang pertama akhir Januari 2021 dengan 13.00–14.000 kasus per hari. Pelaksanaan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) jilid 1 saat itu bisa menekan angka kasus. Memasuki pertengahan Maret 2021 pandemi mulai melandai dengan level 4.000–5000 kasus per hari.
Tren pandemi global naik lagi pada pertengahan Maret dan mencapai puncaknya pada akhir April – pertengahan Mei 2021, yang justru ketika itu kondisi di Indonesia masih landai. Pandemi di tanah air justru melonjak ketika tren dunia sedang menurun. ‘’Jadi, tren dunia tidak berpengaruh pada kondisi pandemi di tanah air,’’ kata Wiku Adisasmito.
Yang menentukan tren domestik adalah mobilitas dan aktivitas masyarakat lokal itu sendiri. Maka, meski varian Delta hadir sejak Januari, dia baru punya kesempatan mengamuk ketika mobilitas dan aktivitas masyarakat meningkat pada sekitar Lebaran pertengahan Mei. Walhasil, kasus Covid-19 pun mulai menanjak di awal Juni dan mencapai puncaknya di pekan ketiga Juli 2021.
Pandemi belum selesai. Kelengahan bisa membawa kemalangan. Australia, misalnya, dapat menekan pandemi dan mencatat hasus harian 10 kasus pada 24 Mei 2021, dengan positivity rate 0,26 persen. Namun, kurvanya menanjak sejak pertengah Juli dan mencapai puncak pertengahan September lalu dengan sekitar 1.700 kasus per hari. Singapura pun begitu halnya, lama melandai dan tiba-tiba saja melonjak di akhir Agustus lalu, dan mencapai angka harian di atas 2.000 kasus pada 21 September.
Tak ada jaminan landainya kasus Covid-19 itu tidak bisa bertahan lama bila tidak benar-benar dijaga. Maka, kata Profesor Wiku, pemerintah akan melakukan pengamanan berlapis untuk menjaga penularan varian baru Lambda dan Mu yang mulai menunjukkan keganasannya. Varian Mu asal Columbia sudah beredar di 49 negara, termasuk Malaysia, dan Lambda sudah menyusup ke Filipina.
Pemerintah membatasi jumlah pintu udara hanya melalui Bandara Soekarno Hatta Tangerang serta Bandara Sam Ratulangi Manado. Pintu laut hanya dibuka di Batam dan Tanjung Pinang Riau. Pelaku perjalanan internasional harus menunjukkan dokumen bebas Covid-19, dengan pemeriksaan PCR, untuk bisa masuk ke wilayah RI. Sesudah itu, mereka harus menjalani karantina delapan hari dan lolos dari dua kali pemeriksaan PCR lanjutan. Jalur darat pun demikian halnya.
Namun, Profesor Wiku Adisasmito mengingatkan pula bahwa bukan hanya mobilitas internasional yang perlu diwaspadai. Mobilitas domestik juga perlu diperhatikan. Mengutip hasil penelitian di 10 negara Eropa, ia mengatakan, angka penularan (reproductive number) berkolerasi lebih dekat pada mobilitas lokal ketimbang mobilitas antarnegara.
Situasi landai ini perlu terus dijaga. Pemerintah terus mempercepat vaksinasi, angka testing dipatok pada level 1 juta orang per minggu, penyediaan ruang isolasi terpusat untuk karantina, dan menjaga kepatuhan masyarakat atas protokol kesehatan, termasuk menjaga mobilitas tetap rendah. Belajar dari ledakan gelombang kedua yang Juni-Juli lalu, kata Profesor Wiku, potensi penularan harus dicegah dengan testing yang besar dan isolasi. Mobilitas dan aktivitas tetap dikendalikan.
‘’Kalau sudah meledak, penanggulanggannya akan makan waktu lama, mahal, dan akan jatuh banyak korban,’’ ujar Wiku.