Oleh: Prima Surbakti
INDONESIAUPDATE.ID – Dalam Periode 2010 – 2045, jumlah penduduk Indonesia merupakan usia produktif. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 mencapai 319 juta orang. Pertumbuhan penduduk mendorong laju urbanisasi dan berkembangnya daerah kecil atau desa menjadi perkotaan di Indonesia. Pada tahun 2045, masyarakat yang akan tinggal di perkotaan mencapai 72,8 persen.
Laju urbanisasi menimbulkan permasalahan baru yakni persoalan sampah. Bilamana penanganan tidak dilakukan dengan baik, sampah akan mencemari ekosistem darat dan air yang akan menjadi ancaman kesehatan bagi manusia.
Berdasarkan kementerian LHK pada tahun 2020, Indonesia yang terdiri 34 provinsi menghasilkan sedikitnya 67.8 juta ton sampah per tahun, dimana perkotaan besar menyumbang sampah mencapai 1000 – 1500 ton per hari. Dari jumlah tersebut, 60 persen sampah diangkut dan ditimbun di TPA, 10 persen sampah didaur ulang oleh masyarakat, dan 30 persen lainnya mencemari lingkungan.
Setiap tahunnya, produksi sampah terus meningkat serta bersifat kontiniu. Sebagian besar sampah tersebut dibuang ke TPA dan dikelola dengan menggunakan metode open dumping dan sanitary landfill. Metode open dumping, sampah dibuang di TPA tanpa ada perlakuan lebih lanjut sedangkan metode sanitary landfill, sampah diratakan dan dipadatkan dengan alat berat kemudian ditimbun dengan tanah.
Dilema pengelolaan sampah mulai dari pengumpulan, pengangkutan sampai penimbunan menyebabkan landfill penuh secara cepat. Hal ini akan menjadi beban keuangan pemerintah kota untuk melakukan pengadaan lahan landfill yang baru.
Komposisi sampah di Indonesia terdiri 49% sampah organik, 22% sampah plastik, 12% sampah kertas, PET 7 %, dan sampah jenis lainnya berupa kaca, logam, kain dan sampah B3. Plastik yang biasanya sangat dibutuhkan manusia kita menjadi beban. Produksi dan konsumsi plastik tidak diikuti oleh regulasi pemakaian plastik, pengolahan plastik yang baik serta belum adanya inovasi kemasan produk dalam industri.
Diketahui, terdapat sekitar 8 juta ton sampah plastik mencemari laut setiap tahunnya dan berdampak pada kehidupan ekosistem laut. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Unilever Indonesia bekerja sama dengan Sustainable Waste Indonesia (SWI) dan Indonesia Plastics Recyclers (IPR) diketahui bahwa proses daur ulang masih belum maksimal.
Studi tersebut menunjukkan 11.83% sampah plastik di Pulau Jawa yang berhasil dikumpulkan dan didaur ulang. Dari 11.83% sampah plastik, 9.78% berasal dari pemulung, 1.78% berasal dari TPST, dan 0.26% berasal dari bank sampah. Rendahnya daya serap dari daur ulang belum mampu mereduksi jumlah sampah serta belum memberikan dampak ekonomi secara maksimal.
Pemecahan persoalan sampah tidak terlepas dari peran masyarakat. Merinci data Badan Pusat Statistik tahun 2008 menunjukkan, 72 persen masyarakat di Indonesia tidak memiliki kepedulian terhadap sampah. Artinya, secara kultural masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran penuh terhadap sampah dan dampaknya di masa akan datang.
Membuang sampah dengan sembarangan, penggunaan plastik yang berlebihan masih menjadi budaya masyarakat Indonesia. Perilaku ketidakpedulian terhadap sampah ditunjukan dengan tidak melakukan pemilahan sampah rumah tangga, tidak memanfaatkan barang bekas, serta tidak membawa tas belanja sendiri.
Pemilahan Sampah, Daur Ulang, Bank Sampah Hingga Design Kemasan Produk
Dalam mewujudkan grand design pengelolaan sampah 100 persen menuju tahun 2045, perlu adanya inovasi pengolahan sampah mulai dari wilayah rumah tangga, keluruhan atau desa hingga kabupaten kota. Dimulai dari rumah tangga, diperlukan adanya penurunan indeks ketidakpedulian terhadap sampah rumah tangga melalui sosialisasi hingga aturan untuk mengubah pola perilaku.
Sebagai contoh : Sosialisasi pemanfaatan barang bekas, membawa tas belanja, dan aturan pemilahan sampah rumah tangga. Apabila indeks ketidakpedulian masih tinggi, diperlukan adanya aturan berupa peningkatan retribusi sampah.
Dalam konsep masyarakat, sampah selalu dipandang sebelah mata sehingga masyarakat membuang sampah secara sembarangan atau tidak pada tempatnya. Dalam wilayah setingkat kelurahan atau desa, diperlukan adanya penambahan atau pembangunan saran fasilitas tempat pembangunan sampah sementara (TPS) sesuai dengan kapasitas sampah di kelurahan atau desa.
Melalui semangat gotong royong, diperlukan adanya penguatan komunitas warga dalam mengelola sampah melalui pemanfaatan 3R, Reduce, Reuse, dan Recycle agar dapat digunakan kembali dan memiliki nilai ekonomi. Sebagai contoh : Pemanfatan sampah organik menjadi pupuk kompos, gas metana, pakan ternak dan kerajinan tangan dari sampah kertas dan plastik.
Dalam wilayah setingkat kecamatan, diperlukan program One District One Waste Bank. Program bank sampah sangat efektif mengubah perilaku masyarakat, karena mendatangkan nilai ekonomi. warga bisa menghasilkan uang dengan berpartispasi di bank sampah.
Sebagai contoh : Plastik, kertas, logam, dan kaca dapat disetor ke bank sampah di kecamatan masing masing, kemudian ditimbang oleh petugas, dan menerima uang dari penjualan sampah. Selain fungsi jual beli, program bank sampah dapat melakukan pelatihan kerajinan tangan kepada komunitas warga hingga membantu akses permodalan untuk mengembangkan usaha kerajinan tangan dari sampah.
Dalam skala industri, diperlukan komitmen pelaku industri dalam perancangan terhadap kemasan produk dalam mengurangi plastik seperti optimalisasi bentuk dan ukuran kemasan produk, hingga penggunaan bahan dasar lain yang lebih ramah lingkungan.
Pelaku industri harus melakukan transformasi model bisnis dengan menerapakan penjualan produk tanpa kemasan plastik seperti skema refill station, melakukan pengisian ulang terhadap produk dan langsung diantarkan ke rumah konsumen.
PERPRES 35 TAHUN 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan
Peraturan Presiden 35 tahun 2018 tentang penerapan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) berbasis ramah lingkungan memberikan harapan baru untuk menghadirkan teknologi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan untuk mengurangi volume sampah secara signifikan demi kebersihan dan keindahan kota serta menjadikan sampah sebagai sumber daya untuk menghasilkan listrik.
Pengelolaan sampah dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir melalui pengurangan dan penanganan sampah. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota Indonesia, yakni DKI Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Surakarta, Makasar, Palembang, Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Manado.
Salah satu teknologi dalam penerapan PSEL yang efektif adalah teknologi termal incinerator. Cara kerja teknologi incinerator, sampah dimasukan ke dalam tungku, kemudian dibakar dengan suhu tinggi dan menghasilkan kalor untuk memanasi boiler. Boiler menimbulkan stem dan menggerakkan turbin.
Dan turbin akhir menghasilkan energi listrik. Selain itu, teknologi incinerator memiliki kelebihan yakni dapat membakar sampah hingga 1000 ton per hari dan menghasilkan gas emisi buang rendah serta ramah lingkungan karena memiliki teknologi pemurnian gas buang, penyimpanan sisa pembakaran, penanganan gas bau dan penanganan flyash.
Namun begitu, energi listrik yang dihasilkan relatif kecil yaitu 0.0028 Kwh per ton sampah. Oleh karena itu, tujuan utama PSEL bukan sebagai pembangkit listrik melainkan percepatan pemusnahan sampah.
Teknologi incinerator bukan merupakan teknologi baru. Banyak Negara maju sudah melakukan aplikasi pengelohan sampah melalui incinerator seperti China, Jerman dan negara eropa lainnya.
Dalam penerapan PSEL, diperlukan area lahan yang luas, pembangunan infrastruktur, serta teknologi pengolahan sampah. Dengan demikian, pembangunan PSEL akan membebankan keuangan pemerintah sehingga diperlukan kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta melalui investasi.
Dalam pelaksanaan investasi, sumber pendapatan berasal dari biaya layanan pengolahan sampah atau tipping fee dan hasil penjualan listrik ke PLN. Secara tidak langsung, kehadiran PSEL menyebabkan biaya pengolahan sampah setiap tonnya akan meningkat.
Perlu adanya strategi dari pemerintah daerah untuk meningkatan pendapatan retribusi sampah seperti perhitungan kembali biaya retribusi sampah di daerah serta pembayaran retribusi sampah langsung ke kas pemerintah daerah melalui digital pay.
Dalam Perpres 35 tahun 2018, juga diberikan dukungan kepada pemerintah daerah dengan memberikan bantuan biaya layanan dalam pengolahan sampah (BPLS) dengan nilai maksimal sebesar Rp 500.000 per ton.
Akhirnya Perpres 35 tahun 2018 membuahkan hasil, Presiden Joko Widodo telah meresmikan PSEL TPA Benowo di Surabaya tahun 2021. Dalam sambutannya di Surabaya, Presiden Joko Widodo telah mendukung program pembangkit listrik berbasis sampah dengan mengeluarkan sejumlah payung hukum.
Hal tersebut juga untuk memastikan pemerintah daerah berani mengeksekusi program tersebut tanpa dipanggil oleh kejaksaan, kepolisian, KPK. Namun, PSEL Benowo merupakan satu dari dua belas kota yang baru menerapkan PSEL.
Selama tiga tahun, pembangunan PSEL di sebelas kota masih berjalan di tempat. Koordinasi serta perbedaan presepsi Perpres 35 tahun 2008 diantara K/L terkait skema kerja sama menjadi kendala bagi pemerintah daerah. Selain itu, Pemerintah daerah sulit untuk membuat dan menganalisa Feasibilitas Study yang dibuat oleh pihak ketiga.
Penentuan tipping fee yang lambat dari pemerintah daerah serta birokrasi yang kaku menjadi kendala dalam memutuskan skema kerja sama antara pemerintah daerah dan pihak swasata. Penting, bagi kepala daerah untuk berani dan progresif melakukan terobosan dalam penyederhana aturan dan membuat kebijakan terhadap investasi PSEL.
*Kabid Aksi dan Pelayanan PP GMKI