INDONESIAUPDATE.ID – Keseriusan pemerintah untuk mendorong pengembangan energi baru terbarukan atau EBT mulai gencar diimplementasikan dengan membuat peta jalan transisi dari bahan bakar fosil ke energi hijau. Indonesia sudah menetapkan peta jalan itu dengan target bauran energi 23 persen pada 2025.
Perhatian terhadap persoalan energi terbarukan memang suda seringkali disuarakan Kepala Negara Joko Widodo. Di acara salah satu media nasional, Kamis (18/11/2021), Presiden Jokowi kembali menyuarakannnya. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam ekonomi hijau (green economy).
Presiden Jokowi menambahkan, pemerintah perlu mulai menata ekonomi hijau tersebut. Sebab, di masa depan negara-negara di dunia mulai meninggalkan barang-barang yang berasal dari energi fosil.
“Di G20, omongan kita juga hanya itu-itu saja sudah, orang larinya ke sini semuanya, ke green economy. Dan kita sadar, kita mempunyai kekuatan besar di ekonomi hijau ini,” ujar Presiden Jokowi, yang disampaikan di laman Setkab.go.id, Kamis (18/11/2021).
Bila dilihat potensinya, tambah Presiden Jokowi, Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan cukup melimpah. Contohnya, potensi energi hidro (hydropower) yang dimiliki oleh Sungai Kayan diperkirakan bisa memproduksi 11.000–13.000 megawatt.
Selain Sungai Kayan, Indonesia juga memiliki lebih dari 4.400 sungai baik sedang maupun besar yang juga memiliki potensi untuk menghasilkan energi hijau. “Sungai Mamberamo itu bisa kira-kira 24.000 megawatt. Ini baru dua sungai. Kalau 4.400 sungai ini dilarikan ke hydropower, kita bisa membayangkan. Baru yang namanya hydropower,” imbuhnya.
Tak hanya lewat energi hidro, Indonesia juga memiliki energi hijau lainnya dalam bentuk geotermal atau energi panas bumi yang berpotensi menghasilkan 29.000 megawatt. Selain itu, terdapat juga potensi energi dari angin dan arus bawah laut.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bauran EBT di Indonesia belum bergerak dari kisaran 11 persen atau masih jauh dari target 23 persen pada 2025.
Hingga kuartal III-2021, pencapaian penambahan kapasitas pembangkit EBT pun baru mencapai 376,04 MW dari target sepanjang tahun ini sebesar 875,78 MW. Sementara itu, realisasi investasi dari subsektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) per September 2021 mencapai USD1,12 miliar.
Tawarkan 21 Proyek
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero, misalnya, dalam rangka menyambut tahun depan, sudah merencanakan menawarkan 21 proyek EBT. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, penawaran proyek EBT itu merupakan implementasi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang telah diterbitkan sebelumnya.
Selain sejumlah proyek EBT tersebut, juga dilakukan peresmian 21 proyek EBT berbasis hidro, surya, dan biogas dengan total kapasitas sekitar 312 MW serta satu pabrik biodiesel berkapasitas 580.000 kiloliter (kl) per tahun.
“Pengumuman proyek EBT yang ditawarkan oleh PLN kepada investor sebagai implementasi RUPTL 2021-2030 dengan total kapasitas mencapai hampir 1,2 GW untuk periode pengadaan 2021/2022,” ungkap Arifin, Selasa (22/11/2021).
Selain itu, dilakukan pula penandatanganan empat kontrak perjanjian proyek EBT berkapasitas total 14,5 MW. Arifin melanjutkan, total investasi dari serangkaian kegiatan tersebut mencapai USD3,9 miliar.
Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya memastikan bahwa pengadaan untuk sejumlah proyek EBT oleh PLN akan dilakukan tahun depan. “Ini juga yang nanti akan kami terus memantau, memonitor terkait proses pengadaan dan penawarannya,” ujar Chrisnawan.
Dia menambahkan, monitoring perlu dilakukan agar proses pengadaan dapat berjalan sesuai rencana, apalagi total kapasitas 1,2 GW dari program ini diakui belum mencukupi untuk mengejar target bauran 23 persen pada 2025.
Tak dipungkiri, penawaran sejumlah proyek EBT itu tidak mudah. Beberapa persoalan siap menghadang. Misalnya, masalah pembiayaan selain masalah harga jual listrik EBT yang dinilai masih rendah.
Tentunya, beban tersebut tidak dapat ditanggung oleh pemerintah. Selisih harga tersebut juga tidak dapat ditanggungkan kepada masyarakat melalui kenaikan tarif dasar listrik. Di sinilah peran dari peta jalan transisi energi.
Selain berupaya merumuskan formula yang tepat dalam rangka transisi energi fosil ke ramah lingkungan, pemerintah telah mendorong pengembangan energi ini dengan memberikan sejumlah insentif guna mendukung implementasi bauran energi bersih semakin massif.
Sejumlah insentif itu berupa tax allowance, pengurangan pajak penghasilan (PPh) selama enam tahun, dan import duty facilitation berupa pembebasan bea masuk selama dua tahun untuk mesin dan peralatan. Insentif selanjutnya berupa pembebasan tambahan dua tahun untuk bahan baku perusahaan yang menggunakan mesin dan peralatan lokal minimal 30 persen.
Ada pula insentif fiskal berupa tax holiday. Di mana pelaku usaha mendapatkan keringanan pajak maksimal 100 persen berupa pengurangan pajak penghasilan untuk investasi minimal Rp500 miliar selama lima tahun—20 tahun.
Keringanan lain yang diberikan kepada pelaku usaha energi hijau adalah pemberian minitax holiday maksimal pengurangan pajak 50 persen untuk investasi Rp100 miliar—Rp500 miliar selama lima tahun.
Tidak ketinggalan, pemerintah juga memberikan insentif nonfiskal berupa insentif untuk biofuel oleh badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit. Jalan yang ditempuh untuk mencapai bauran energi hijau memang telah berada pada jalur yang tepat.
Namun, masih perlu kerja keras untuk mempercepat capaian target bauran energi hijau agar kebutuhan elektrifikasi masyarakat dapat segera terpenuhi. Ujungnya adalah Indonesia diharapkan dapat menjadi salah satu negara di dunia yang mampu menyediakan energi bersih untuk rakyat, sekaligus turut berkontribusi terhadap lingkungan global. (indonesia.go.id)