Oleh: Muhammad Ghozi Ammar*
INDONESIAUPDATE.ID – Siapa yang tidak tau Pantai Kuta? pantai dengan pemandangan matahari terbenamnya yang begitu mempesona. Siapa yang tidak tau Labuan Bajo? Pulau – pulau dan bukit – bukitnya yang berderet yang melihatnya saja dapat menenangkan hati dan jiwa.
Tidak lupa dengan Danau Toba yang menjadi favorit wisata domestik dan mancanegara. Indonesia dari ujung Sabang sampai ke tanah Irian, Merauke, memiliki begitu banyak surga dunia yang memiliki potensi wisata.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyebut Indonesia memiliki potensi wisata halal yang sangat besar. Dalam rencana membangun dan memulihkan perekonomian pasca pandemi Kemenparekraf berupaya memaksimalkan potensi pariwisata Indonesia.
Mengingat Jumlah masyarakat muslim Indonesia yang mencapai 231 juta jiwa tentu perlu strategi untuk memanfaatkan hal tersebut guna meningkatkan perekonomian sektor pariwisata salah satunya adalah program pariwisata halal.
Sandiaga Uno dalam Launching of Spiritual International Halal Science Conference 2021 mengatakan
“ Selain memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki destinasi wisata yang beraneka ragam untuk pengembangan potensi wisata halal,”. Melihat negara seperti Singapur, Thailand, dan Inggris yang menjadi leading dalam pilihan wisata muslim dimana negara – negara tersebut menerapkan wisata muslim friendly patut dipahami bahwa kompetisi pariwisata ini harus dimenangkan oleh kita.
Apabila wisatawan domestik kita memilih untuk berlibur ke luar negeri maka dampaknya akan terjadi pelemahan terhadap rupiah disebabkan kenaikan demand mata uang luar negeri yang menyebabkan depresiasi rupiah terhadap mata uang tersebut.
Sayangnya, rencana besar memajukan perekonomian masyarakat lokal dari sektor pariwisata halal ini menuai penolakan dari sejumlah daerah.
Gubernur Bali I Wayan Koster menyampaikan bahwa ide pariwisata halal tidak cocok diterapkan di Bali karena menilai ide tersebut menyempitkan branding pariwisata bali yang terkenal dengan budayanya dan kearifan lokal.
Penolakan ini juga dilakukan oleh daerah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan masyarakat sekitar Danau Toba. Penolakan inilah yang mengakibatkan program pariwisata halal belum mampu direalisasikan. Kemudian bagaimana kita seharusnya menjawab persoalan tersebut?
Perlu dipahami bahwasannya masyarakat lokal kita mempunyai budaya serta nilai – nilai yang melekat dan tidak bisa diganggu gugat. Indonesia negara dengan 17.941 pulau tentu memiliki masyarakat yang begitu unik dan beragam.
Tidak menjadi masalah apabila kita menjadi berbeda dan tidak menjadi masalah pula apabila kita menganut keyakinan yang tak sama. Perlu kita ketahui polemik ini mungkin saja berasal dari instabilitas politik Indonesia pasca Pilpres 2019 sehingga memunculkan konflik di tengah masyarakat.
Karena itu pemerintah perlu mengadakan komunikasi untuk mengurangi bias dan kesalahpahaman yang terjadi agar rencana pemulihan ekonomi ini dapat direalisasi. Komunikasi dan penstabilan politik inilah yang menjadi kunci untuk kita agar bisa saling mehami dan menerima.
Selain mengkomunikasikan rencana wisata halal nama dari program tersebut perlu disiasati agar mengurangi kontroversi. Kata “ halal ” dipahami oleh kita sebagai suatu yang baik dan diperbolehkan. Namun masalahnya ada pada kebalikan kata itu sendiri. Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengatakan dalam wawancaranya “Mana ada wisata di NTT pakai halal, lalu nanti yang haram yang mana. Kalau ada wisata halal, berarti yang lain haram dong,”.
Melalui pernyataan tersebut kita dapat memahami perasaan masyarakat non-muslim yang khawatir dengan pelabelan halal tersebut yang akan menjadikan unsur – unsur kebudayaan non – halal bercap “haram” sehingga dinilai tidak baik dan tidak dibenarkan. Oleh sebab itu perubahan kata wisata halal sebaiknya diubah menjadi wisata ramah muslim yang maknanya lebih netral dan tidak sentimental.
*Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB