Prof. Misri Gozan, Ketua Komite Eksekutif LAM TEKNIK- PII,
Guru Besar Universitas Indonesia
INDONESIAUPDATE.ID – Lahirnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menimbulkan berbagai diskusi hangat di kalangan pengelola pendidikan tinggi. Aturan ini berlaku efektif 18 Agustus 2025 nanti, namun perdebatan mengenai kelebihan dan kekurangannya masih panas, terbukti menteri terdahulu Prof. Satryo maupun Prof. Brian kini masih menunda keberlakuan Permen ini.
Salah satu topik yang paling banyak dibicarakan adalah terkait status akreditasi yang kini hanya terdiri dari tiga kategori: terakreditasi, terakreditasi unggul, dan tidak terakreditasi. Status akreditasi ini tidak hanya mempengaruhi upaya peningkatan mutu kampus yang merupakan tujuan diadakannya akreditasi oleh pihak eksternal, tetapi juga akan berimplikasi semakin membebani biaya akreditasi. Ada banyak hal lainnya yang menyebabkan kebijakan ini menjadi sangat kontra produktif dan patut disayangkan. Tulisan ini sekaligus memberikan solusinya.
Mengapa Sistem Akreditasi Diubah?
Banyak pihak menduga bahwa perubahan ini dilatarbelakangi oleh keluhan dari sejumlah perguruan tinggi yang merasa bahwa biaya akreditasi yang dikenakan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) terlalu mahal. Dulu, akreditasi dilakukan oleh BAN PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) dan sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah. Perguruan tinggi jelas sangat tidak terbebani secara langsung. Namun, lahirnya LAM-LAM baru yang mulai bermunculan sejak tahun 2021 sebagai amanah dari UU No. 12 Tahun 2012 mengubah pola ini.
Karena LAM dibentuk sebagai lembaga independensi, sumber pendapatan utamanya berasal dari biaya akreditasi yang dibayarkan oleh perguruan tinggi. Beberapa kampus kemudian mengeluhkan bahwa biaya ini terlalu mahal dan meminta pemerintah untuk kembali memberikan subsidi. Pada kenyataannya, pemerintah juga tidak mungkin mengabulkan tuntutan membiayai seluruh proses akreditasi, karena akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Benarkah Biaya Akreditasi Terlalu Mahal?
Benarkah biaya akreditasi yang dikenakan oleh LAM terlalu mahal? Relatif jawabannya. Jika dihitung secara sederhana, untuk sebuah program studi dengan jumlah mahasiswa sekitar 20 orang per angkatan, biaya akreditasi sekitar Rp 50-58 juta yang berlaku untuk 5 tahun. Dengan demikian, biaya per mahasiswa per semester hanya sekitar Rp 84 ribu — jumlah yang lebih rendah daripada biaya pulsa mereka setiap bulannya. Padahal, biaya ini diperuntukkan bagi penjaminan mutu pendidikan secara eksternal yang seharusnya menjadi prioritas penting bagi setiap perguruan tinggi.
Bagi kampus, negeri maupun swasta, yang memiliki jumlah mahasiswa baru lebih dari 20 per Angkatan, tentu biaya akreditasi terasa sangat ringan. Di sisi lain, jumlah mahasiswa kurang dari 20 per Angkatan juga berimplikasi sulitnya mengelola prodi tersebut, misalnya dalam penyediaan fasilitas perkuliahan, lanboratorium, dan renumerasi yang layak bagi para dosen dan tenaga pendidikan.
Di sisi lain, pembentukan LAM oleh pemerintah juga menghadapi tantangan administratif yang rumit. Terutama terkait mekanisme pendanaan dari pemerintah ke lembaga swasta, apabila LAM pemerintah yang operasionalnya sebagian dibiayai oleh negara harus melakukan akreditasi terhadap perguruan tinggi swasta.
Penjaminan Mutu Tidak Bisa Dilakukan Secara Internal Saja
Perlu dipahami bahwa penjaminan mutu pendidikan tinggi tidak bisa diserahkan secara internal saja. Harus ada pihak eksternal yang terjaga independensinya untuk menilai mutu pendidikan dengan obyektif. LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) yang mengelola akreditasi eksternal ini diawasi oleh berbagai pihak, yaitu BAN PT, DIKTI, serta para pemrakarsa seperti asosiasi program studi dan atau profesi.
Beberapa LAM bahkan memiliki afiliasi dengan lembaga akreditasi internasional yang sangat ketat pengawasannya, karena menyangkut pengakuan internasional terhadap lulusan yang terkait dengan mobilitas global. Hal ini menandakan bahwa peran LAM sebenarnya sangat strategis dalam menjaga standar pendidikan agar tetap relevan dan diakui secara global.
Dampak dari Penghapusan Peringkat Akreditasi
Namun, yang menjadi masalah utama dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 bukan hanya soal biaya, melainkan juga penghapusan peringkat akreditasi. Kini, status akreditasi hanya terdiri dari “terakreditasi”, “terakreditasi unggul”, dan “tidak terakreditasi”. Dengan kebijakan ini, berbagai kerugian dapat terjadi.
Misalnya para Pengguna Lulusan akan kehilangan referensi penting. Peringkat akreditasi yang lebih rinci seperti Baik, Baik Sekali, dan Unggul sebenarnya membantu lembaga pemberi beasiswa, perusahaan, atau instansi pemerintah dalam melakukan seleksi awal calon mahasiswa atau pegawai. Jika status “Baik Sekali” dihapus dan hanya menyisakan “Terakreditasi”, maka banyak program studi yang tadinya berada di tingkat “Baik Sekali” akan terlempar ke status “Terakreditasi” saja. Artinya, peluang bagi mereka untuk mendapat pengakuan lebih tinggi akan menurun drastis.
Dengan dihapusnya peringkat, semangat perguruan tinggi dalam melakukan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) maupun Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) juga akan terpengaruh. Proses peningkatan mutu yang seharusnya terus dikembangkan dapat terhambat karena standar penilaian yang terkesan disamaratakan.
Parahnya lagi, pengurangan kategori peringkat juga akan berdampak pada biaya akreditasi. Ini disebabkan karena pemerintah hanya akan mensubsidi proses akreditasi minimal dan memberlakukan automasi. Skema biaya akreditasi untuk peringkat “Unggul” sepenuhnya diserahkan kepada LAM. Dengan hilangnya status “Baik Sekali”, hanya program studi yang memiliki kapasitas luar biasa yang mampu mencapai “Unggul”. Sementara itu, biaya operasional LAM tidak berkurang, sehingga kemungkinan besar biaya akreditasi “Unggul” akan meningkat untuk menutupi kekurangan dari prodi yang hanya “Terakreditasi”.
Jika sebagian besar program studi memilih untuk “pasrah” dengan status “Terakreditasi” yang diberikan secara otomatis melalui sistem, dan tidak berusaha mengejar status “Unggul”, biaya akreditasi “Unggul” bisa meningkat hingga 100 bahkan 200 persen. Hal ini tergantung pada berapa banyak program studi yang tidak termotivasi untuk mengejar peringkat lebih tinggi. Semakin sedikit yang mencoba mencapai status “Unggul”, semakin besar pula beban biaya yang harus ditanggung oleh prodi yang berusaha memperoleh pengakuan tersebut.
Solusi yang Diperlukan
Apakah kebijakan ini tepat? Tentu perlu kajian lebih mendalam. Namun, yang pasti adalah bahwa sistem akreditasi yang hanya memberikan status “Terakreditasi” tanpa diferensiasi jelas dapat menurunkan motivasi perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu. Harus ada keseimbangan antara mencapai standar minimal yang ditetapkan pemerintah dan mengapresiasi mereka yang mampu melampaui standar tersebut.
Pemerintah pernah memberikan subsidi yang selektif. Namun sepertinya proses aplikasi subsidi tersebut dalam pelaksanaannya masih terhambat karena prosesnya masih terasa membebani kampus. Terbukti penyerapan subsidi tersebut masih di bawah angka 40% pada tahun 2023 lalu dan tidak terdengar lagi di tahun 2024. Proses subsidi ini tidak lagi boleh membebani kampus pemohonnya, walaupun juga harus tetap selektif.
Pemerintah perlu membuka ruang diskusi yang lebih luas dengan berbagai pihak, termasuk LAM, perguruan tinggi, dan pengguna lulusan. Urusan meningkatkan mutu Pendidikan tinggi jelas bukan semata urusan pemerintah. Kampus jangan hanya mengejar status akreditasinya, tetapi juga bagaimana berupaya secara konsisten memperbaiki sistem penjaminan mutu. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa sistem penjaminan mutu yang diterapkan mampu benar-benar mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.









