OPINI

Refleksi Hari Buruh: Tiga identitas dalam satu garis perjuangan rakyat

4
×

Refleksi Hari Buruh: Tiga identitas dalam satu garis perjuangan rakyat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Fadli Islami Nazar* 

TIAP 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh. Di Indonesia, perayaan ini identik dengan aksi massa. Berbagai spanduk berisi tuntutan dibetangkan, orasi megafon menggema, dan gelombang rakyat buruh menuntut keadilan ekonomi. Tapi di tengah gegap gempita itu, pernahkah kita bertanya: apakah Hari Buruh hanya milik mereka yang bekerja di pabrik dan kantor?

Jika kita menyusuri kembali jejak sejarah rakyat Indonesia, kita akan menemukan bahwa ada perjuangan kaum tertindas yang khas dari bumi indonesia. ia adalah satu sosok yang dikenal sebagai Marhaen.
Dan untuk melengkapi ke-khasan tersebut, maka kita perlu juga membahas tentang wong cilik.

Buruh, marhein dan wong cilik merupakan satu kesatuan barisan kesadaran yang menggenapi sejarah perjuangan rakyat di bumi Indonesia. Mereka menghadapi realitas yang seringkali membawanya ke persimpangan jalan antara menerima penindasan atau melawan ketertindasan. Kadang berhadapan dengan bangsa lain, tapi tidak jarang berhadapan dengan bangsa sendiri. Ini adalah kaum proletar Indonesia.

Buruh: Wajah Tertindas dalam Sistem Kapitalisme

Tidak asing bagi kita bahwa buruh adalah simbol kelas pekerja yang menjual tenaga untuk mendapatkan upah. Ia adalah manusia-manusia yang senantiasa bergelut dalam sistem produksi yang menuntut efisiensi, loyalitas, dan keterikatan waktu.

Namun di balik gaji dan kontrak kerja, buruh adalah bagian dari sistem yang nilai-nilai kemanusiaannya problematik. Hal ini karena relasi yang tidak seimbang antara pemilik perusahaan dan buruh.

Tidak jarang ia harus menerima kontrak kerja yang diputuskan sepihak, belum lagi upah yang tidak layak sebagaimana tenaga dan jam kerja yang dikeluarkan, bahkan baru-baru ini ramainya badai pemutusan hubungan kerja (PHK) seenaknya (walaupun di waktu-waktu sebelumnya hal itu sudah sering dilakukan).

Tetapi di Indonesia, perjuangan buruh memiliki bentuk yang khas dan unik. Ia tidak bisa dipisahkan dari sejarah rakyat jelata secara umum. Buruh ini lahir dari desa, dari keluarga petani miskin, dari wong cilik yang mencoba bertahan hidup dalam sistem yang tidak adil.

Berita Terkait  Gerakan Wiratani Muda Indonesia, Ikhtiar Menjaga Bonus Demografi

Maka, perjuangan buruh hanyalah satu fragmen dari mozaik yang lebih besar. perjuangan rakyat kecil melawan sistem yang menindas.

Buruh Indonesia adalah generasi penerus para petani yang meninggalkan tanah kelahirannya. Ia dihadapkan pada keadaan dilematis karena bertahan di desa artinya minim apresiasi negara sambil memupuk rasa khawatir jika suatu saat tanah dan rumahnya akan digusur atas nama pembangunan bandara, waduk, pabrik, dan lain-lain.

Sekarang kita telah memasuki buruh generasi kedua (mungkin ketiga) yang memiliki karakteristik berbeda dari generasi sebelumnya. Buruh generasi pertama masih memiliki ketahanan diri yang lebih tangguh karena pada awalnya mereka ditempa oleh alam pedesaan yang asri.

Sedangkan generasi selanjutnya adalah buruh yang sejak lahir sudah dilemahkan kediriannya. Ia dipaksa ditinggal ibunya bekerja sejak bayi, dipaksa menerima kenyataan sikap kurang perhatian orang tuanya akibat lelah bekerja.

Rumah orang tua mereka berada di sekitar pabrik sehingga si bayi ini dipaksa terbiasa dengan polusi udara dan polusi suara dari aktivitas pabrik. Sehingga ketika dewasa, mereka menjadi buruh yang tidak setangguh orang tuanya.

Marhaen: Ideologi dari Tanah yang Terlupakan

Pada awal 1930-an, Soekarno bertemu seorang petani kecil di Bandung yang hanya memiliki sebidang tanah dan alat kerja sederhana. Ia tak bergantung pada majikan, tapi hidupnya tetap miskin. Bung Karno menyebutnya: Marhaen.

Dan dari sana lahirlah Marhaenisme, sebuah ideologi yang menolak kapitalisme dan imperialisme, dan menyatukan semua kaum tertindas: buruh, petani, nelayan, dan pedagang kecil.

Marhaen bukan sekadar konsep ekonomi, ia adalah gagasan ideologis yang mengakar pada kemandirian dan martabat rakyat kecil. Marhein juga merupakan suatu bentuk kesadaran sejarah berupa pertentangan antara rakyat melawan pengusaha dan penguasa yang tidak adil.

Ia dikerdilkan melalui instrumen sosial dan politik. Berbeda dari buruh yang sering terjebak dalam sistem, Marhaen adalah rakyat yang memiliki alat produksi namun tetap terjajah oleh struktur sosial dan politik.

Ada salah satu judul menarik dari salah satu karya Soekarno (Dibawah Bendera Revolusi) yaitu “orang Indonesia cukup nafkahnya sebenggol sehari?”. Pada bagian itu diceritakan bahwa kaum marhein dipaksa menerima keputusan penghasilannya ditentukan secara tidak adil oleh sistem. Pada akhirnya kaum marhein terpaksa mengganjal perutnya dengan sebenggol sehari.

Berita Terkait  Pencegahan dan Penanggulan HIV/AIDS Menurut Permenkes RI No. 21 Tahun 2013

Terpaksa! Terpaksa! Terpaksa! – tegas Soekarno. Para kaum marhein dijerumuskan kedalam jurang dengan kata “cukup”. Dengan kata lain, terpaksa cukup.

Mereka memiliki tanah tetapi bisa saja sewaktu-waktu dipaksa menyerahkan tanahnya. Meskipun tidak rela menyerahkan, tetap akan terambil juga. Lagi-lagi rakyat lemah berada di persimpangan jalan antara menyerahkan tanahnya ditukar uang atau menyerahkan tanahnya ditukar nyawa (jika melawan).

Penggusuran dilakukan dengan bangga karena ada instrumen kebijakan (peraturan) yang padahal pemilik tanahnya tidak dilibatkan ketika membuatnya. Secara sepihak, mereka menggusur atas nama sah secara hukum yang berlaku.

Wong Cilik: Nafas Budaya, Luka yang Abadi

Sebelum kata “buruh” dan “marhaen” muncul dalam wacana politik, masyarakat Jawa (dan Nusantara pada umumnya) telah mengenal istilah wong cilik. Mereka adalah rakyat jelata yang hidup sederhana, tak bersuara di ruang kekuasaan, tetapi menjadi fondasi negeri ini.

Wong cilik bukan hanya kelas ekonomi, tetapi posisi sosial dan spiritual: mereka yang nrimo, sabar, gotong-royong, dan menyimpan luka kolektif sejarah.

Wong cilik tidak melakukan mogok kerja, tapi mereka tetap bekerja keras dari subuh hingga senja. Mereka tak turun ke jalan, tapi mereka tetap korban pertama dari setiap kebijakan yang keliru.

Mereka adalah yang pertama kali tergusur atas nama pembangunan dan estetika paradoks yang sering kali luput dari hiruk pikuk pemberitaan di media. Mereka adalah suara yang diam yang sebisa mungkin dihapus dari ingatan sejarah bangsa dan justru karena itu, mereka paling layak didengarkan.

Mereka tidak pernah mengemis keadilan kepada manusia dan hukum manapun. Mereka percaya kepada keadilannya sendiri dan hukum alam. Mereka adalah lapisan rakyat yang paling rentan karena hidup dari waktu ke waktu tanpa merasa punya pilihan.

Berita Terkait  Merdeka Bangsaku, Komunikasi Merdeka

Tapi kenyataannya mereka tetap diusik ketenangannya oleh mereka yang berkuasa. Pada akhirnya mereka tidak bersuara bukan berarti tidak merasa.

Ketika bagian paling sensitif (perasaan) mereka terus menerus diusik secara akumulatif, virus-virus di luka itu akan aktif bahkan mampu membunuh yang paling kuasa sekalipun.

Menyatukan Tiga Arah: Jalan Kesadaran Rakyat

Di sinilah pentingnya refleksi Hari Buruh untuk menyatukan tiga identitas ini—buruh, marhaen, dan wong cilik—dalam satu garis perjuangan rakyat.

Dari buruh, kita belajar tentang kekuatan organisasi dan tuntutan struktural.

Dari marhaen, kita belajar tentang kesadaran ideologis dan arah perjuangan.

Dari wong cilik, kita belajar tentang daya tahan budaya dan kekuatan batin rakyat.

Ketiganya adalah satu tubuh yang tercerai berai. Sudah saatnya kita menyatukannya kembali, bukan hanya untuk menuntut keadilan, tapi untuk membangun peradaban rakyat yang merdeka lahir dan batin.

Refleksi Akhir: Dari Demo ke Gerakan Kebudayaan

Hari Buruh bukan sekadar tentang upah minimum. Ia adalah pengingat bahwa kita (rakyat kecil) pernah dan bisa kembali menjadi kekuatan sejarah.

Di tengah krisis sosial, ketimpangan ekonomi, dan alienasi budaya, kita membutuhkan gerakan yang tidak hanya bicara soal kerja dan upah, tapi juga soal nilai, martabat, dan arah hidup bersama.

Dari buruh, kita bangkit. Bersama marhaen, kita sadar. Sebagai wong cilik, kita membangun dunia baru.
Dari desa, dari pasar, dari jalanan. Inilah saatnya lokomotif rakyat bergerak.

Seperti dikatakan Kuntowijoyo, rakyat perlu keluar dari sikap reaktif (hanya merespons krisis dan ketidakadilan) dan masuk ke dalam sikap proaktif. menjadi subjek sejarah, merancang masa depan, dan membangun kekuatan sendiri.

Gerakan rakyat hari ini harus menjadi gerakan kebudayaan, bukan sekadar perlawanan sesaat, tetapi transformasi menyeluruh dalam cara berpikir, bekerja, dan hidup. Di situlah makna sejati Hari Buruh di bumi Indonesia: bukan hanya peringatan, tapi permulaan.(*)

*Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana IPB Unviversity

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *